De Nuttige Planten van Nederlandsch-Indië

Bismillahirrahmanirrahim
Assalumalaikum warahmatullahi wabarakatuh.

De Nuttige Planten van Nederlandsch-Indië yang kurang lebih artinya Tumbuhan Berguna dari Hindia-Belanda adalah salah satu buku karangan Karel Heyne (1877-1947) -seorang karyawan di Kebun Raya Bogor yang dulunya bekerja di Koniklijk Paketvaart Matschappij (KPM; Perusahaan Perkapalan Kerajaan [Hindia Belanda]), salah satu artikel karangan saya di Wikipedia Indonesia. Saya dalam hal ini teringin untuk memasukkan beberapa tinjauan terhadap buku ini. Buku ini, memang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai Tumbuhan Berguna Indonesia (1988). Pada tahun ’50-an, pernah ada usaha untuk menerjemahkan buku ini dlm Bhs. Indonesia namun katanya buku ini terhadang masalah. Sial menghadang saya -yg mana aku tak bisa mendapati versi bahasa Indonesianya-, saya sampai sekarang hanya bisa mendapati versi bahasa Belandanya (jilid I-IV, ditambah edisi revisi jilid pertama) di sebagai salah satu kopiannya. Buku ini dikarangnya pada tahun 1913, beberapa tahun berselang setelah dikarang oleh F.S.A. de Clercq dan Maurits Greshoff pada tahun 1909. de Clercq sendiri rupanya adalah seorang pejabat jaman Hindia-Belanda yang bekerja di Maluku.

De Nuttige umumnya buku rujukan pertama setelah C.C.G.J. van Steenis pada tahun 1981. Dalam salah satu buku ensiklopedia karangan van Steenis, Heyne dikatakan kurang bahkan tidak memasukkan fakta2 tentang morfologi atau memberi pemerian tentang tumbuh-tumbuhan pada spesies yang diterakan oleh Heyne. Walau demikian, Heyne selalu meminta kepada sang penerbit agar diberi gambar/ilustrasi kepada buku yang dia karang. van Steenis memberi perbandingan dengan buku-buku J.J. Osche yang dikarang pada tahun 1930-an -yakni tentang sayur-sayuran dengan buah-buahan- bahwa buku itu justru kelihatannya lebih lengkap gambarnya, walaupun yang dibahas adalah sayur-sayuran di Hindia-Belanda. Buku J.J. Osche diterjemahkan oleh N. St. Iskandar pada tahun 50-an sebagai Sayur-sayuran di Negeri Kita. Kelihatan sekali, Heyne pada jilid pertama yang dikarangnya memakai referensi yang selalu berhubungan dengan nilai tumbuhan apabila ditilik secara ekonomis. Pada jilid I -edisi yg belum direvisi- (hal.263-65), dia memakai buku2 penting seperti karya Sir George Watt, yakni The comercial products of India dan Dictionary of the economic products of India. Ia juga memakai karya J.E. Jasper dan Mas Pirngadie tentang nilai ekonomi. Tak lupa, dia juga menggunakan buku-buku karangan H.N. Ridley, pengawas kebun raya di Singapura yang diketahui juga bisa bahasa Belanda. Buku2 Ridley yang dikutip Heyne bertema pengobatan, juga A.G. Voordermann dan hasil ekspedisi P.J. Veth, yang berarti suatu tanda, bahwa Heyne juga peduli dengan etnobotani dan pegobatan tradisional. Ngomong2 tentang pengobatan tradisional, dia juga memakai buku W.G. Boorsma, dokter zaman Hindia-Belanda yang memperhatikan pengobatan tradisional (lihat jilid IV:262-65). Jurnal2 yang dipilihnya, selain mengenai botani, dia juga memakai sumber yang menghubungkan ekonomi dan botani -baik yang berbahasa Belanda dan Inggris. (lihat jilid IV:264).

Keakuratan buku Heyne juga perlu diapresiasi. Ia memakai buku Georg Eberhard Rumphius yang lumayan lengkap apabila ditilik sisi historiografinya. Rumphius sewaktu masih bisa melihat, menulis buku perihal tumbuhan-tumbuhan air, daratan, pohon, semak-semak, yang berguna sebagai tumbuhan obat. Buku F.A.W. Miquel, Flora van Nederlandsch-Indië dipergunakan. Saya melihat, di , buku Flora karya Miquel juga cukup lumayan menceritakan sejarah penggunaan tumbuhan yang tersedia di dalamnya.

Seperti apakah keakuratan sejarah dalam buku botani-ekonomi K. Heyne ini? Baik saya mengutip salah satu artikel di dalam internet:

Baunya Sejarah Jengkol

Orang Indonesia menyukai jengkol, meski bau dan berbahaya jika dimakan berlebihan.
OLEH: HENDRI F. ISNAENI

MASYARAKAT dibuat jengkel karena harga jengkol melonjak, dari Rp 10 ribu menjadi Rp 50 ribu. Jengkol lebih mahal dari seekor ayam. Penyebabnya, pasokan menurun akibat belum panen raya hingga banyaknya pohon jengkol yang ditebang.

Jengkol merupakan tumbuhan asli daerah tropis di Asia Tenggara. Selain di Indonesia, ia tumbuh di Malaysia (disebut jering, jiring), Thailand (cha niang), Myanmar (danyin), dan Nepal (dhinyindi).

Kegemaran masyarakat Nusantara memakan jengkol sudah terjejaki lama. Letnan Gubernur Hindia Belanda Thomas Stamford Raffles dalam The History of Java (1817), misalnya, sudah menyebut jengkol sebagai bahan makanan di Jawa, selain pete dan komlandingan (lamtoro).

Karel Heyne, ahli botani Belanda, juga menyebutkan soal jengkol dalam karyanya, yang terbit pada 1913, De nuttige palnten van Nederlandsch Indie, berisi tumbuh-tumbuhan yang banyak digunakan dan memiliki nilai komersial di Hindia Belanda. Dalam buku yang kemudian diterbitkan Departemen Kehutanan dengan judul Tumbuhan Berguna Indonesia (1988), dia menulis jengkol dengan tinggi hingga 26 meter tumbuh di bagian barat Nusantara, dibudidayakan penduduk di Jawa atau tumbuh liar di beberapa daerah. Jengkol bisa tumbuh baik di daerah dengan musim kemarau sedang sampai keras; tapi tak tahan musim kemarau panjang.

“Biji disenangi oleh penduduk tetapi tidak oleh orang Eropa; bijinya jarang dikemukakan tanpa keterangan tambahan ‘berbau busuk’ (Bel. stinkende),” tulis Heyne. “Biji yang sangat muda dan tua dimakan sebagai lauk, yang … pada umumnya dimasak.”

Ahli botani Jerman Justus Karl Hasskarl, sebagaimana dikutip Heyne, mengemukakan bahwa menurut penilaian orang Eropa biji jengkol tak enak rasanya; tapi penduduk senang sekali biji ini. “Bau air kencing orang yang makan biji ini memiliki bau yang keras,” kata Hasskarl, “bau yang keras ini di tempat kencing selama beberapa hari tidak hilang.”

Seperti penulis lainnya, Hasskarl menyebut bahwa kesenangan makan jengkol bisa mengakibatkan bisul dan penyakit kajengkolan (susah dan sakit ketika buang air kecil).

Dokter dan ilmuwan Belanda AG Vorderman, memberikan keterangan tentang jengkol: “Bijinya disamping banyak karbohidrat (Zetmeel) mengandung juga minyak atsiri, kalau orang makan biji ini dapat menyebabkan keracunan, menyebabkan hyperaemie ginjal atau pendarahan ginjal dan pengurangan atau penghentian keluarnya air kencing serta kejang kandung kencing (Blaaskrampen).”

Menurut Vorderman, jengkol beweh memiliki sifat yang merugikan –di Bogor disebut jengkol sepi. “Jengkol beweh adalah biji yang telah tua setelah dibenam dalam tanah selama 14 hari sampai mulai berkecambah,” kata Vorderman, sebagaimana dikutip Heyne.

Menurut Heyne, keterangan itu kurang tepat karena tujuan membenam biji jengkol yang sudah tua justru untuk mengurangi sifat-sifat merugikan. Sifat merugikan dari jengkol juga dapat berkurang dengan cara dibuat keripik jengkol. Caranya: biji yang tua direbus, dipukul palu hingga tipis, kemudian dijemur di bawah terik matahari. Setelah itu tinggal digoreng dengan sedikit tambahan garam. “Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa perlakuan demikian akan mengurangi bahaya karena minyak atsirinya akan menguap sebagai akibat cara pengolahan ini,” tulis Heyne.

Dan tentu saja olahan dari jengkol yang paling populer adalah semur jengkol. Caranya biasanya sama seperti membuat keripik jengkol. Tapi setelah dipipihkan kemudian dimasak dengan bumbu semur yang telah disiapkan.

Jengkol masih populer hingga kini. Kelangkaan jengkol mungkin tak akan jadi masalah nasional. Tapi bagi penggemar beratnya, ini persoalan yang harus segera diatasi.

Mungkin, hanya inilah sedikit ulasan yang dapat saya tulis. Lain kali, ‘kan saya sambungkan lagi.Assamalaikum Warahmatullahi Wabarukatuh.

Tinggalkan komentar