Bismillah, Walhamdulillah. Sy sangat bersyukur kpd Allah yg masih memberi sy kesempatan, sehingga sy masih bisa mengkopi tulisan sahabat sy, Pak Muhammad Valdy. Ini dia. Intinya ‘sih ttg keharusan masuk Majelis Ilmu. Ini dia.
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ أَنَّ أَبَا مُرَّةَ مَوْلَى عَقِيلِ بْنِ أَبِي طَالِبٍ أَخْبَرَهُ عَنْ أَبِي وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَمَا هُوَ جَالِسٌ فِي الْمَسْجِدِ وَالنَّاسُ مَعَهُ إِذْ أَقْبَلَ ثَلَاثَةُ نَفَرٍ فَأَقْبَلَ اثْنَانِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَذَهَبَ وَاحِدٌ قَالَ فَوَقَفَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَّا أَحَدُهُمَا فَرَأَى فُرْجَةً فِي الْحَلْقَةِ فَجَلَسَ فِيهَا وَأَمَّا الْآخَرُ فَجَلَسَ خَلْفَهُمْ وَأَمَّا الثَّالِثُ فَأَدْبَرَ ذَاهِبًا فَلَمَّا فَرَغَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا أُخْبِرُكُمْ عَنْ النَّفَرِ الثَّلَاثَةِ أَمَّا أَحَدُهُمْ فَأَوَى إِلَى اللَّهِ فَآوَاهُ اللَّهُ وَأَمَّا الْآخَرُ فَاسْتَحْيَا فَاسْتَحْيَا اللَّهُ مِنْهُ وَأَمَّا الْآخَرُ فَأَعْرَضَ فَأَعْرَضَ اللَّهُ عَنْهُ
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Isma’il [1] berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Ishaq bin Abdullah bin Abu Thalhah bahwa Abu Murrah -mantan budak Uqail bin Abu Thalib-, mengabarkan kepadanya dari Abu Waqid Al Laitsi, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika sedang duduk bermajelis di Masjid bersama para sahabat datanglah tiga orang. Yang dua orang menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan yang seorang lagi pergi, yang dua orang terus duduk bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di mana satu di antaranya nampak berbahagia bermajelis bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang yang kedua duduk di belakang mereka, sedang yang ketiga berbalik pergi, Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selesai bermajelis, Beliau bersabda: “Maukah kalian aku beritahu tentang ketiga orang tadi? Adapun seorang di antara mereka, dia meminta perlindungan kepada ALLAH, maka ALLAH lindungi dia. Yang kedua, dia malu kepada ALLAH, maka ALLAH pun malu kepadanya. Sedangkan yang ketiga berpaling dari ALLAH maka ALLAH pun berpaling darinya”
(HR. Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya no. 64)
Syarah:
Hadits ini mengandung anjuran untuk beretika dalam majelis ilmu dan mengisi tempat yang kosong dalam majelis tersebut, sebagaimana anjuran untuk mengisi shaf (barisan) yang kosong dalam shalat yang telah diterangkan dalam hadits lain. Dalam hal ini, seseorang diperbolehkan untuk lewat di depan orang lain selama tidak mengganggunya. Akan tetapi jika ia khawatir akan mengganggunya, maka dianjurkan untuk duduk paling belakang seperti yang dilakukan oleh orang kedua dalam hadits ini. Hadits ini juga mengandung pujian bagi orang yang rela berdesakan untuk mencari kebaikan atau pahala.
“Orang yang kedua merasa malu-malu,” maksudnya, ia tidak mau berdesak-desakan seperti yang dilakukan oleh orang pertama, karena ia malu kepada Rasulullah dan hadirin dalam majelis itu, menurut pendapat Qadhi ‘Iyadh. Sedangkan Anas telah menjelaskan penyebab rasa malu orang tersebut sebagaimana diriwayatkan oleh Hakim, “Dan orang kedua itu berlalu kemudian ia datang dan mengambil tempat duduk.” Maka hadits ini menunjukkan, bahwa ia malu untuk meninggalkan majelis seperti yang dilakukan oleh temannya yang ketiga.
“Maka ALLAH pun malu kepadanya,” artinya ALLAH tidak akan memberinya rahmat, tetapi juga tidak akan menyiksanya. “Maka ALLAH pun berpaling darinya,” atau ALLAH murka kepadanya, yaitu kepada orang yang meninggalkan majelis bukan karena suatu halangan jika ia adalah seorang muslim, atau mungkin ia adalah orang munafik sehingga Nabi mengungkapkan kejelekannya, atau mungkin perkataan Nabi فَأَعْرَضَ اللَّهُ عَنْهُ adalah sebagai pemberitahuan atau doa.
Dalam hadits Anas disebutkan, فَأَعْرَضَ اللَّهُ عَنْهُ maksudnya ALLAH tidak membutuhkan kepadanya. Hal ini menunjukkan bahwa perkataan Nabi tersebut adalah sebagai pemberitahuan. Adapun penisbatan kemurkaan kepada ALLAH hanya sebagai Muqabalah (perbandingan) atau Musyakalah (persamaan). Oleh karena itu, lafazh tersebut harus ditafsirkan sesuai dengan keagungan dan ketinggian-NYA.
Adapun fungsi penisbatan itu adalah untuk menerangkan sesuatu secara jelas. Hadits tersebut juga membolehkan untuk memberitakan keadaan orang-orang yang berbuat maksiat dengan maksud untuk mencela perbuatan tersebut. Hal semacam ini tidak dianggap ghihah.
Hadits ini juga menerangkan tentang keutamaan orang yang mengikuti majelis ilmu dan majelis dzikir, serta duduk bersama orang yang berilmu dan berdzikir di dalam masjid. Hadits ini juga memuji orang yang malu dan duduk di tempat paling akhir (belakang). [2]
Footnote:
[1] Perawi bernama Isma’il dalam hadits ini yang dimaksud adalah Isma’il bin ‘Abdullah bin ‘Abdullah bin Uwais. Menurut Imam Ahmad bin Hambal, ia (Isma’il) “laa ba’sa bihi” atau tidak mengapa. Dan Abu Hatim menyatakan beliau tsiqah. Namun banyak ulama ahli hadits mendha’ifkannya, seperti Yahya bin Ma’in dan An Nasa’i. Ad Daulabi, Al Uqaili, dan Ad Daruquthni menyebutkannya dalam “Adh Dhu’afa” Imam Ibnu Hajar Al Ashqalani mengatakan ia shaduq (jujur) namun banyak kesalahan dalam hafalan. Bahkan Ibnu Abu Uwais menuduhnya sering memalsukan hadits. Kesimpulannya hadits ini dilihat dari sanad-nya adalah dha’if (lemah). Namun hadits ini memiliki syaahid (penguat) yakni di hadits riwayat Imam Bukhari dalam Shahih-nya juga no. 454, dari jalur Abdullah bin Yusuf. Para ulama menyebutkan bahwa ia (Abdullah bin Yusuf) tsiqah dan hafizh. ALLAHu’alam…
[2] Fathul Baari (syarah Shahih Bukhari, karya Imam Ibnu Hajar Al Ashqalani -rahimahullah) jilid 1, hadits no. 66, bab “Duduk Paling Belakang Dalam Suatu Majelis dan Menempati Tempat yang Kosong.” Halaman 293-296, tahqiq oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, cetakan Pustaka Azzam, tahun 2002.